Tafsir Ayat Qishash
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah Tafsir Ahkam II
Dosen pengampu: H.
Sholakhuddin Sirizar, M.A
Disusun oleh:
1.
Ahmad Lutfi 12.21.2.1.003
2.
Muhammad Ansori 12.21.2.1.024
3.
Nur Khamid 12.21.2.1.029
4.
Riyan Hidayat 12.21.2.1.032
PROGRAM STUDI
HUKUM KELUARGA
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI SURAKARTA
2014/2015
BAB I
Pendahuluan
Al-Qishash dalam
al-Qur’an disebut empat kali, semuanya dalam bentuk isim (kata benda).
Dua di antaranya isim ma’rifat (kata benda definitif), dan dua yang lain
isim nakirah (kata benda indefinitif). Secara bahasa kata al-qash
artinya “mengikuti jejak”, dari sini muncul istilah kisah yang berarti kabar
atau berita yang diikuti (al-akhbar al-mutataba’ah) qisash ialah tatabu’,
qishash berarti tatabu’ ad-dam bi al-qawad (mengikuti/membalas
penumpaan darah dengan al-qawad). Dalam lisan al-‘Arab disebutkan: al-Qawad
huwa al-Qatl bi al-Qatl yang maksudnya “suatu hukum yang ditetapkan dengan
cara mengikuti bentuk tindak pidana yang dilakukan,” seperti bunuh dibalas
bunuh. Hukuman mati dan sejenisnya disebut qishash karena hukuman ini
sama/sebanding dengan tindak pidana yang dilakukan yang mengakibatkan jatuhnya
hukum qishash tersebut. Al-Qur’an sendiri memberikan isyarat melalui surat
al-Baqarah ayat 178-179 dan juga surat al-Maidah ayat 45, bahwa yang dimaksud
dengan qishash ialah sanksi hukum yang ditetapkan dengan adil semirip
mungkin (relatif sama) dengan tindak pidana yang dilakukan sebelumnya. Atau
dengan arti lain qishash adalah pembunuhan dan hukuman yang harus
ditanggung oleh pelaku pembunuhan atau tindakan kekerasan sesuai dengan
kejahatan yang dilakukannya seakan-akan pembunuhan dan hukuman tersebut
mengikuti jejak orang yang bersalah.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
QS. al-Maidah ayat 45
$oYö;tFx.ur öNÍkön=tã !$pkÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ ú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ cèW{$#ur ÈbèW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù X£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ
“Dan
Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang
melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.
a)
Sababun Nuzul
Di dalam taurat, telah ditetapkan
bahwa nyawa harus dibayar nyawa. Orang yang membunuh tidak dengan alasan yang
benar dia dia harus dibunuh pula dengan tidak memandang siapa yang membunuh dan
siapa yang dibunuh: “harus memberi nyawa nyawa ganti nyawa, mata ganti mata,
gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, luka ganti luka, bengkak
ganti bengkak”.
Sekalipun
penetapan tersebut diketahui oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi, namun mereka
tetap tidak mau menjalankan dan melaksanakannya. Mereka tetap memandang adanya
perbedaan derajat dan strata di dalam masyarakat. Mereka menganggap bahwa
golongan Yahudi Bani Nadir lebih tinggi derajat dan kedudukannya dari golongan
Yahudi Bani Quraizah, sehingga apabila seorang dari golongan Bani Nadir membunuh
seorang dari golongan Bani Quraizah dia tidak dibunuh, karena dianggap tidak
sederajat. Tetapi kalau terjadi sebaliknya yaitu seorang dari Bani Quraizah
membunuh seorang dari bani Nadir, maka dia harus dibunuh.
Hal ini merupakan
pembangkangan dan penolakan terhadap petunjuk hukum-hukum Allah yang ada di
dalam kitab Taurat berjalan terus sampai datangnya agama Islam. Setelah Bani
Quraizah mengadukan adanya perbedaan kelas di dalam masyarakat mereka, kepada
Muhammad, oleh beliau diputuskan bahwa tidak ada perbedaan antara si A dan si
B, antara si golongan Anu dan si golongan Fulan di dalam penerapan hukum. Hukum
tidak memandang bulu semua orang harus diperlakukan sama. Mendengar keputusan
Rasulullah saw ini, golongan Bani Nadir merasa diturunkan derajatnya karena
telah diperlakukan sama dengan golongan Bani Quraizah, maka turunlah ayat ini.
(al-Qur’an dan Tafsirnya jilid II: 406-407).
b)
Tafsirnya
Dalam ayat ini Allah menegaskan
kembali bahwa di dalam Taurat telah digariskan
suatu ketetapan bahwa jiwa harus dibayar dengan jiwa sama dengan hukum
qishash yang berlaku dalam syari’at Islam, pembunuh yang telah akil baligh bila
ia membunuh sesama Islam dan sama-sama merdeka, maka pembunuh tersebut baik
seorang maupun beberapa orang harus dikenakan hukuman bunuh bagi orang yang
dinyatakan cakap oleh hukum.
Selanjutnya orang
yang mencukil mata atau memotong hidung atau telinga atau mencabut gigi orang
lain, maka ia wajib dikenakan hukuman qishash, ditindak sesuai dengan
perbuatannya, sesuai dengan firman-Nya:
Ç`yJsù
3ytGôã$#
öNä3øn=tæ
(#rßtFôã$$sù
Ïmøn=tã
È@÷VÏJÎ/
$tB
3ytGôã$#
öNä3øn=tæ
.
“Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka
seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu” (al-Baqarah: 194)
Begitupun melukai orang ada
qishasnya. Orang yang melukai orang lain, dia pun harus dilukai pula sama
dengan yang diperbuatnya baik mengenai lebar maupun dalamnya, sebagai
firman-Nya:
÷bÎ)ur
óOçGö6s%%tæ
(#qç7Ï%$yèsù
È@÷VÏJÎ/
$tB
OçFö6Ï%qãã
¾ÏmÎ/
“Dan jika kamu memberikan balasan, Maka
balaslah dengan Balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu”.(al-Nahl: 126)
Barang siapa melepaskan hak
qishashnya dengan penuh kerelaan, dan memaafkan si pelaku sehingga tidak jadi
diqishash. Itu menjadi penebus dosa bagi yang memaafkan. Orang yang dibebaskan
dari hukuman qiashash karena dimaafkan oleh pihak keluarga orang yang terbunuh,
tidaklah berarti bahwa ia telah bebas dari hukuman seluruhnya, tetapi dia masih
dikenakan hukuman diat (ganti rugi).
Barang siapa tidak menjalankan ketentuan-ketentuan di atas, yaitu
qishash yang didasarkan keadilan melainkan mempergunakan hukum sekehendak
otaknya, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim, karena melanggar hukum
Allah dan menganggap pihak yang dibunuh atau dianiaya itu adalah golongan
rendah yang tidak sederajat dengan pihak yang membunuh atau yang menganiayanya.
2.
QS. AL-Baqarah: 178-179
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºs ×#ÏÿørB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºs ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOÏ9r& ÇÊÐÑÈ öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quym Í<'ré'¯»t É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÐÒÈ
(178).
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af
dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih. (179). dan dalam qishaash itu
ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya
kamu bertakwa.
a)
Sababun Nuzul
1)
Riwayat
dari Qatadah: bahwa orang-orang jahiliyah biasa melakukan kedzaliman, yaitu
apabila suatu kabilah yang memiliki kekuatan kemudian hamba mereka dibunuh
hamba dari kabilah lain, maka mereka berkata “kami tidak akan membalas
melainkan mesti membunuh orang merdeka” karena merasa kabilahnya lebih agung
dari kabilah lain. Dan apabila ada seorang perempuan di antara mereka membunuh
perempuan dari kabilah lain, merekapun akan membalas seorang laki-laki dari
kabilah lain. Lalu turunlah ayat ini. (as-Sayuti, ad-Darul Mantsur. 1:
173)
2)
Riwayat
Sa’id bin Jubair: bahwa pernah ada dua kabilah Arab di masa jahiliyah yang
tidak jauh dari masa datangnya islam, saling membunuh yang kemudian
masing-masing dari mereka ada korban yang meninggal dan yang luka-luka termasuk
di antaranya wanita-wanita dan hamba-hamba, kemudian belum sampai saling
membalas kembali di antara mereka sehingga akhirnya masuk islam. Kemudian salah
satu kabilah yang bersengketa itu menyombongkan kekayaan dan perbekalan mereka
lalu bersumpah tidak rela kalau tidak membalas pembunnuhan yang dilakukan oleh
kabilah lawannya, bagi seorang hamba kami yang terbunuh, maka kami harus dapa
membunuh seorang merdeka dari kalangan mereka, dan bagi seorang wanita, kami
harus membunuh seorang laki-laki sebagai balasannya. Kemudian turunlah ayat
ini. (Ibnu Katsir 1: 209, dan at-Thabari 2: 104)
b)
Tafsirnya
(178)
Ayat ini menetapkan suatu hukuman qishash yang wajib dilaksanakan dengan
ketentuan-ketentuan:
1)
Apabila
orang merdeka membunuh orang merdeka, maka qishash berlaku bagi pembunuh yang
merdeka tersebut.
2)
Apabila
seorang budak membunuh budak (hamba sahaya), maka qishash berlaku bagi budak
pembunuh.
3)
Apabila
yang membunuh seorang perempuan, maka yang terkena hukuman mati adalah
perempuan tersebut.
§ Para ulama memberikan hasil ijtihadnya masing-masing sebagai
berikut;
a.
Apabila
orang merdeka membunuh seorang hamba sahaya.
b.
Apabila
seorang Muslim membunuh seorang kafir zimmi (kafir yang menjadi warga negara
islam)
c.
Apabila
orang banyak bersama-sama membunuh seorang manusia.
d.
Apabila
seorang laki-laki membunuh seorang perempuan
e.
Apabila
seorang ayah membunuh anaknya.
Menurut madzhab Hanafi, pada masalah no.1 dan 2 hukumnya ialah
bahwa si pembunuh itu harus dihukum mati walaupun derajat yang dibunuh dianggap
lebih rendah dari yang membunuhnya, dengan alasan antara lain;
1)
Dari
permulaan ayat 178 sampai kata al-Qatla sudah dianggap satu kalimat yang
sempurna. Jadi, tidak dibedakan antara derajat manusia yang membunuh dan yang
dibunuh. Sedang kata-kata berikutnya yaitu orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba sahaya dengan hamba sahaya dan perempuan dengan perempuan, hanyalah
sekadar memperkuat hukum agar jangan berbuat seperti pada masa jahiliyah. (al-Qur’an
dan Tafsirnya jilid I: 262)
2)
Ayat
ini dinasakh dengan ayat 45 surat al-Maidah yang tidak membedakan derajat
derajat dan agama manusia.
Menurut madzhab Maliki dan Syafi’I, pada masalah no.1 dan 2 ini,
pembunuh tidak dibunuh, karena persamaan itu adalah menjadi syarat bagi mereka
dengan alasan bahwa;
1)
Kalimat
dalam ayat tersebut belum dianggap sempurna kalau belum sampai kepada
kata-kata: wal untsa bil untsa (perempuan dengan perempuan). Jadi
merdeka dengan yang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya dan perempuan
dengan perempuan. Persamaan itu menjadi syarat, sedang ayat 45 al-Maidah
sifatnya umum ditaksiskan dengan ayat ini.
2)
Sabda
Rasul saw: la yuktalul mu’minu bikafirin (tidak dibunuh orang mukmin
karena membunuh orang kafir)
Masalah no.3 menurut jumhur ulama, semua dihukum mati karena
masing-masing telah mengambil bagian dalam pembunuhan. Masalah no.4 hukumnya
sesuai dengan ijmak sahabat, yaitu pembunuh wajib dihukum mati karena dianggap
tidak ada perbedaan yang pokok antara laki-laki dengan perempuan. Masalah no.5
hukumnya tidak dihukum mati karena membunuh anaknya, sesuai dengan sabda Rasul
saw: la yuktalu walidun biwaladihi (ayah tidak dibunuh karena membunuh anaknya)
Selalnjutnya Allah swt menerangkan adanya kemungkinan lain yang
lebih ringan dari qishash, yaitu “barang siapa mendapat suatu pemaafan dari
saudara yang terbunuh, maka hendaklah orang yang diberi maaf itu membayar diat
kepada saudara (ahli waris) yang memberi maaf dengan cara yang baik.” Artinya
gugurlah hukuman wajib qishash dan diganti dengan hukuman diat yang wajib
dibayar dengan baik oleh yang membunuh.
Kemudian dalam penutup ayat ini Allah memperingatkan kepada ahli
waris yang telah memberi maaf, agar jangan berbuat yang tidak wajar kepada
pihak yang diberi maaf karena apabila ia berbuat hal-hal yang tidak wajar,
makaartinya perbuatan itu melampaui batas dan akan mendapat azab yang pedih di
hari kiamat.
(179)
Memberika penjelasan tentang hikmah hukuman qishash, yaitu untuk mencapai
keamanan dan ketentraman. Karena dengan pelaksanaan hukuman qishash, umat
manusia tidak akan sewenang-wenang melakukan pembunuhan secara sengaja, karena
merasa dirinya lebih kuat, lebih kaya, lebih berkuasa dan sebagainya.
Di
ayat 179 terdapat kata “qishash” dengan isim ma’rifat sedang kata “hayat”
dengan isim nakirah adalah dimaksudkan untuk membangkitkan rasa bahwa dengan
dijalankannya hukum qishash adalah besar sekali artinya bagi kehidupan, yang
demikian itu lantaran orang yang bermaksud membunuh orang lain akan memjadi
menggigil ketakutan sehingga kelangsungan kehidupan manusia lebih terjamin. (Tafsir
Abu Su’ud 1: 151).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
QS. Al-Maidah ayat 45
a.
Allah
telah menetapkan di dalam Taurat ketentuan-ketentuan mengenai qishash, yaitu
jiwa dibayar dengan jiwa, mata dibayar dengan mata, gigi dibayar dengan gigi,
begitu juga luka dibayar dengan luka.
b.
Orang-orang
yang tidak menjalankan ketentuan tersebut adalah orang-orang dzalim.
QS. al-Baqarah ayat 178-179
1.
Allah
mewajibkan kepada umat manusia yang beriman untuk melaksanakan hukuman qishash
terhadap orang yang melakukan pembunuhan atau membayar diat kalau dimaafkan
oleh ahli waris terbunuh.
2.
Qishash
artinya hukuman semisal yang harus dilaksanakan terhadap diri seseorang yang
telah melakukan kejahatan terhadap fisik orang lain.
3.
Diat
adalah hukuman denda yang disetujui oleh kedua belah pihak atau yang ditentukan
oleh hakim, apabila ahli waris yang terbunuh memaafkan pembunuh dari hukuman
qishash.
4.
Ayat
178 dan disertai dengan dasar-dasar hadits, ijmak, dan peraturan-peraturan yang
berlaku dalam cara menetapkan hukum, para ulama mujtahid memberikan pendapat
mengenai masalah-masalah berikut;
a.
Apabila
orang merdeka membunuh orang merdeka pula, maka yang membunuh itu dikishash
(dihukum mati)
b.
Apabila
seorang hamba sahaya membunuh seorang hamba sahaya, maka yang membunuh dihukum
mati.
c.
Apabila
seorang merdeka membunuh seorang hamba sahaya, atau seorang muslim membunuh seorang
kafir dzimmi, maka kedua masalah tersebut menurut madzhab Hanafi pembunuh wajib
dihukum mati. Adapun menurut madzhab Maliki dan Syafi’I pembunuh wajib membayar
diat.
d.
Apabila orang banyak secara bersama-sama
melakukan pembunuhan terhadap seorang manusia, menurut pendapat kebanyakan
ulama, semua orang yang turut membunuh itu wajib dihukum mati walaupu yang
dibunuh itu seorang saja, kecuali madzhab Dawud Zahiri yang berpendapat bahwa
hanya wajib membayar diat.
e.
Apabila
seorang ayah membunuh anaknya kandungnya sendiri, maka ayah tidak dihukum mati,
hanya membayar diat atau hukuman lain yang ditentukan oleh hakim. Kalau terjadi
sebaliknya, maka anak dihukum mati karena membunuh ayahnya.
f.
Hukuman
qishash ini diwajibkan sebagai tindakan pencegahan, untuk memelihara
kelangsungan hidup umat manusia yang aman, tenteram dan adil.
Daftar Pustaka
As-Sabuni, Muhammad Ali, Terjemah
Tafsir Ayat Ahkam as-Shabuni jilid I (ditakhsis oleh Mu’ammal Hamidy dan
Imran A. Manan). Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1985
As-Sayuti, Jalaluddin Abdurrahman, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Kairo:
Dar al-Fikr.
At-Tabari, Abu Ja’far Muhammad Ibnu
Jarir, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Mesir: Mustafa al-Babi al-
Halabi, 1954.
Departemen Agama RI, AL-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya,
tahun 2002.
Ibnu Katsir, Abil Fida’ Ismail. Tafsir
Al-Qur’an al-Azim, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al- Arabiyah.
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an
dan Tafsirnya jilid I & II, Jakarta:Lentera Abadi, 2010

Komentar
Posting Komentar