Anjing dan Buku Tulis
Oleh : Ahmad Luthfi
Sepintas tidak ada
yang sama antara anjing dengan buku tulis. Mereka seperti langit dan bumi,
tidak pernah saling kenal apalagi saling mengenal. Anjing diciptakan sebagai
mahluk hidup oleh Tuhan yang pada dasarnya sama dengan manusia, memiliki jiwa
konsumerisme, reproduksimisme. Sedangkan buku tulis adalah benda mati, benda
yang memang ditakdirkan menjadi budak bagi manusia, kadang dicintai tapi kadang
dihina-hina, dicaci-maki bahkan diperkosa. Dalam hal ini takdir anjing memang
selalu diperlakukan senasib dengan buku tulis yang dijadikan budak oleh
manusia.
Dari dulu sampai
sekarang, anjing selalu di nomor sekiankan oleh manusia. Kedudukannya di
masyarakat tidak begitu penting, bahkan dia mendapat julukan salah satu mahluk
hidup ternajis di dunia. Entah itu rangking satu, dua, atau tiga yang penting
dia mendapat posisi tertinggi dalam status ke-najisannya.
Saya masih ingat
ketika mengikuti mata kuliah fikih ibadah yang diajarkan salah satu dosen
fakultas syari’ah IAIN Surakarta. Dia mengatakan bahwa “jika dari sebagian
anggota tubuh kita dijilat oleh anjing, maka diharuskan membasuhnya tujuh kali
dan salah satunya dengan air yang keruh”. “Tetapi sekarang kan ada sabun dengan
berbagai produknya menawarkan keharumannya, setiap produk mengklaim bahwa
sabunnya yang paling bisa membersihkan segala macam kuman” tanya salah satu
mahasiswa, tetap saja dosen itu menjawab “harus dengan tujuh kali basuhan dan
salah satunya dengan air keruh”. Saya tidak akan mengutarakan argumen saya
bahwa dalam Islam “Hukum itu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang
berlaku pada zamannya”, tetapi yang paling penting di sini adalah eksistensi
anjing itu sendiri sebagai mahluk yang paling najis sehingga tubuhnya saja jika
disentuh harus dibersihkan sesuai dengan aturan di atas.
Beda lagi kasusnya
jika menyebut “namanya”, mungkin Anda bisa mempraktekkan kepada orang di hadapan
Anda dengan mengucapkan “Anjing..lo”, maka sebagai konsekuensinya, Anda
dipastikan akan mendapat hadiah “tempeleng”
bisa juga hanya sebatas “diludahin”. Anehnya mereka menganggap ucapan seperti
itu merupakan sebuah penghinaan baginya yang sepantasnya tidak Anda ucapkan
kepadanya.
Hal serupa dialami
oleh buku tulis, di zaman serba “tul,tul,tul” ini dia sesalu dikucilkan oleh
manusia. Kedatangan gadget-gadget “Made in” yang pastinya bukan made in
Indonesia telah mendominasi pasar-pasar di seluruh kota-kota besar di tanah air,
dan kedudukannya diam-diam telah menggeser peran yang sejak dulu dikerjakan
oleh buku tulis. Kita tahu bahwa buku tulis adalah benda yang dijadikan sebagai
media untuk menulis, mentransfer apa yang telah ditangkap oleh pikiran kita kemudian
kita wujudkan dalam bentuk tulisan yang ditulis di atas buku tersebut, sehingga
kita mengetahui bentuk tulisan kita sendiri dan secara tidak langsung kita
diajarkan untuk menciptakan sesuatu agar bermanfaat untuk kita dan orang lain.
Tetapi anehnya,
dengan kedatangan gadget-gatget tersebut, mentalitas manusia lebih memilih
sesuatu yang mudah dan praktis dengan argumen bahwa hal itu lebih meng-optimalkan
waktu supaya lebih efisien. Mereka lupa bahwa sesuatu yang dihasilkan dari
kreatifitas kita, apapun itu bentuknya, berapa pun itu jumlahnya dan seburuk
pun itu hasilnya, kita nanti akan memetik hasilnya di kemudian hari.
Gadget-gadget tersebut bukan hanya meracuni orang yang
berpendidikan rendah, tetapi juga meracuni orang berpendidikan tinggi di negeri
ini. Mereka yang disebut sebagai “bocah-bocah berjaket” di perguruan tinggi
bahkan sebagai sasaran utama, dan memang terbukti, sekarang banyak mahasiswa
yang males menulis di buku tulis. Mereka lebih memilih cara yang mudah dan praktis, “lebih baik meminta file
dosen daripada menulis”, “lebih baik memfoto tulisan yang ada di Board dari
pada menulisnya kembali di buku tulis”, mereka menyatakan bahwa menulis ulang
tulisannya dosen adalah “membuang-buang waktu”. Mungkin dalam “mindset” mereka
yang ada adalah saat ini menulis di buku tulis bagaikan orang bangsat dan juga
bajingan sehingga mereka menghindar jauh-jauh dari pekerjaan menulis di buku
tulis.
Saya tidak mengatakan bahwa anjing dan buku tulis itu seharusnya
diperlakukan sebagai mahluk yang suci sehingga dengan menyentuhnya harus
melakukan ritual keagamaan terlebih dahulu. Karena saya sendiri menulis tulisan
ini tidak di buku tulis melainkan di gadget-gadget “Made in”, dan saya
menyadari bahwa secara tidak lagsung, saya tertular virus-virus mematikan
tersebut. Tetapi yang saya ingin sampaikan adalah apabila melihat sesuatu,
lihatlah dengan kacamata kreatif jangan lihat dari kacamata sinis karena
bagaimanapun juga, anjing dan buku tulis tidak ingin diperlakukan seperti
budak.
Komentar
Posting Komentar