Multitafsir Janji Pemuda
Manusia tidak bisa
menghindar dari apa yang namanya janji. Sejak sebelum ruh diletakkan di raga
manusia pun sudah berjanji dengan Tuhannya untuk setia melakukan perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya sebagai syarat untuk menghuni suatu daerah di dunia.
Seakan-akan Tuhan berkata “Wahai manusia, saya akan berikan bumi dan seluruh
isinya kepadamu sehingga engkau bebas untuk mengelolanya dan mengambil
manfaatnya, tapi dengan syarat engkau tidak lupa akan adanya Aku”. Itulah dengungan-dengungan
normatif yang sejak dulu diajarkan oleh seseorang yang pernah mengajariku, dan
jika kamu bertanya kepadanya, pastilah dia mengatakan “Itu semua tertera dalam
kitab-kitab yang dikarang oleh para ahli di masanya dan patut kita beri
apresiasi”.
Lalu ada lagi
janji antara dua sejoli yang bersepakat untuk menglangsungkan ikatan perkawinan
atas nama cinta dengan tujuan untuk hidup bersama, membagi suka dan duka
bersama dan menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah di depan
Pegawai Pencatat Nikah sesuai dengan ketentuan UU Perkawinan no. 1 tahun 1974.
Masih banyak
janji-janji lain yang dilakukan oleh manusia Tuhannya maupun antar sesama. Akan
tetapi dalam tulisan ini dibuat tidak untuk mengajarkan normatifisme seperti
apa yang tertera dalam sepatah “kata” di atas. Juga bukan menulis tentang
sejarah “Sumpah Pemuda” karena saya tidak terlibat langsung dalam peristiwa
itu. Disiplin dalam tulisan ini hanya akan dibahas “Janji Pemuda” yang di satu
sisi dengan sisi lainya berbeda pemikiran dalam memahami maksud sebuah “janji”
yang dihubungkan dengan Negara.
Dalam buku “Panduan Untuk Merancang Kontrak” disebutkan
bahwa perjanjian adalah suatu kesepakatan timbal balik antara seorang dengan
orang lain untuk melakukan sesuatu, dan perjanjian tersebut sifatnya mengikat
antara kedua belah pihak. (Kusumohamidjojo: 2008). Ia juga merupakan salah satu
dari dua dasar hukum yang ada selain dari undang-undang (KUH Perdata pasal
1233) yang dapat menimbulkan perikatan.
Syahdan, tahukah
janji Anda sebagai pemuda terhadap Negara ?. Jika anda tidak tahu, mungkin saya
lebih men-spesifik-kan kalimatnya menjadi, apakah anda tahu janji anda sebagai
mahasiswa?. Silahkan Anda berpikir sejenak, jika Anda benar-benar lupa, mungkin
bisa dicari lagi berkas-berkas surat perjanjianya di bawah bantal, di dalam
lemari, atau mungkin di tempat sampah. Kalau belum ketemu juga, mungkin anda
bisa pergi ke tempat pembuangan sampah yang ada di sekitar anda. Bisa jadi
berkas itu sudah menjadi abu, dan siapa tahu abu tersebut masih meninggalkan
bekas tulisan yang masih bisa untuk dibaca.
Masih ingatkah
ketika anda pertama kali menyandang “Mahasiswa” ?. Mereka bukan lagi dari golongang
kaum elit di negeri ini. Kenyataannya di kampus yang saya tempati sekarang yang
bernama IAIN Surakarta yang tersohor di kampus sendiri, dengan beberapa
bangunan tinggi nan megah tapi macet dengan roda dua buatan Jepang ini, toh
akan mendapatkan beasiswa “MISKIN” juga. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa
bukan lagi dari golongan elit di negeri ini, tetapi katakanlah “tulalit” di
negeri ini. Apalagi di fakultas Syari’ah yang mahasiswanya mendapatkan
fasilitas-fasilitas komplit dan bisa diadu. Bisa diadu dalam hal kebasiannya,
seperti adanya fasilitas koran yang ada di lantai dua. Sepintas ada
bermacam-macam koran lokal yang tertera di rak koran tersebut, dan bila anda
perhatikan semua koran tersebut adalah “Edisi Kemarin” bukan hari ini, itu
menunjukkan bahwa yang pantas diberikan bagi mahasiswa adalah barang bekas.
Mungkin juga ilmu yang mereka transferkan kepada mahasiswa barangkali “Ilmu
bekas”.
“Maha siswa” dengan huruf balok M yang melekat pada kata “Maha”
yang berarti paling tinggi, tidak ada yang lebih tinggi darinya. Setelah itu
ada kata “siswa” dengan huruf s kecil yang menunjukkan tingkatan pelajar yang
rendah. Ketika “Maha” dan “siswa” itu bersatu membentuk kata manjemuk akan
nampak prestisenya, mereka tidak mau disebut lagi sebagai siswa melainkan harus
Mahasiswa. Mereka pernah menjadi orang terpandang dalam masyarakat Indonesia,
maka sesuai dengan kebudayaan yang masih berakar dalam masyarakat kita, mereka
segera diharapkan menyelesaikan segala macam persoalan yang bukan bidangnya.
Mereka telah terkana ilusi bahwa mereka adalah “juru selamat” sepanjang masa,
padahal saat ini menghadapi kenyataan bahwa semua itu hanyalah ilusi belaka.
Multitafsir sebuah janji
Ciri sebuah organisasi besar
salah satunya memiliki lagu khas tersendiri, tidak terkecuali mahasiswa sebagai
organisasi terpelajar dan terpandang di negeri ini pun sebagai buktinya. Yaitu
Mars Mahasiswa. Sebuah lagu yang sekarang hampir dimarginalisasikan oleh
kelompoknya sendiri, hanya dinyanyikan saat ada pertemuan penting, itupun
jarang yang hafal. Lirik lagunya seperti ini; kepada para mahasiswa yang
merindukan kejayaan kepada rakyat yang kebingungan di persimpangan jalan,
kepada pewaris peradaban yang telah menggoreskan sebuah catatan kebanggaan di
lembah sejarah manusia, wahai kalian yang rindu kemenagan, wahai kalian yang
turun ke jalan demi mempersembahkan jiwa dan raga untuk negeri tercinta. Demikian
teksnya, dan jika kita cermati mendalam, ternyata lagu tersebut mengandung
beberapa janji yang secara tidak sengaja kita ikrarkan.
Kita sudah
berjanji kepada negara untuk menjanjikan “kejayaan” kepadanya. Kejayaan
yang menurut hemat penulis adalah menjadikan negara merdeka dan negara maju.
Merdeka dari segi kebutuhan fisik yaitu mengentaskan kemiskinan dan menjadikan
kehidupan yang layak bagi masyarakat indonesia, juga merdeka dari kebutuhan
akalnya yaitu memberikan hak warga negara untuk memberikan pendidikan
kepadanya. Seperti apa yang dikatakan oleh orang jawa “wong yen pengen wareg
weteng, kudu wareg akale disik” artinya jika mau perutnya kenyang syaratnya
harus kenyang akalnya terlebih dahulu. Dan
kejayaan yang kedua adalah negara maju. Negara maju bisa diraih ketika syarat
negara merdeka sudah terpenuhi, karena dalam unsur negara merdeka yang hakiki
adalah terciptanya Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni dan mampu bersaing
dengan masyarakat dunia sehingga kualitas masyarakat kita diakui dan memenuhi
persyaratan untuk menjadi negara maju. Akan tetapi pendapat yang kedua
mengatakan bahwa yang dimaksud redaksi “kejayaan” adalah jaya karena terbebas
dari tekanan apapun termasuk perintah orang tua, diantaranya; pertama,
setiap bulan mendapatkan gaji dari orang tua walaupun tidak bekerja. kedua,
tidur dari pagi hingga pagi lagi baru
bangun kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu yang sangat dharurat seperti
kencing, BAB, mandi dan makan. ketiga, kalau ada tugas dari dosen itu
semata-mata bukan menjadi tugas dirinya tetapi menjadi tugas mbah google dengan
trik canggih nan cepat yaitu hanya “satu jam jadi” dengan cara meng-copypaste-kan
hasil pencarian mbah google kemudian besok harinya dipresentasikan di depan
kelas seadanya.
Janji yang kedua
adalah menjanjikan “kemenangan”. Dalam lirik lagu tersebut, janji
kemenangan terletak nomor tiga setelah kejayaan, menghormati tokoh negara yang
telah sukses mengambil alih kemerdekaan dari bangsa asing, dan yang ketiga
adalah kemenangan. Dilihat dari kacamata logika sederhana, adanya kemenganan
pasti sebelumnya telah terjadi adanya peperangan baik itu dalam skala kecil
maupun besar. Dan adanya peperangan tujuannya adalah mencapai sebuah komitmen
bersama untuk menuju perdamainan demi kepentingan-kepentingan yang berbeda.
(Remy Sylado: 2014). Dalam hal ini, negara ikut serta dalam misi perdamaian
dunia agar tidak ada lagi negara yang bertindak sebagai penguasa atas
negara-negara lain, karena pada dasarnya semua negara adalah sama kedudukannya.
Itulah tugas mahasiswa yang harus diemban ketika sudah sarjana dan telah
menjadi pejabat negara tertinggi untuk menjanjikan kemenangan terhadap Negara,
karena merekalah yang mendapat julukan agent of change-nya sebuah
Negara. Pendapat kedua mengatakan, kemenangan yang dimaksud adalah menang
ketika sudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang diinginkan, karena pada dasarnya
tujuan kuliah adalah untuk mencari pekerjaan dari kertas berharga yang disebut
sertifikat sarjana. Mereka kuliah hanya dituntut bekerja sesuai dengan
kompetensi yang didapat ketika kuliah di kampusnya tersebut seperti apa yang
dikatakan oleh rektor ICE yaitu Dr. Viru Shastrabhuddi dalam film 3 Idiots, “Kita
semua bagaikan burung Cuckoo, dan mereka semua adalah telur-telur yang harus
kalian singkirkan karena hidup adalah perlombaan, jika kalian tidak cepat
seorang akan mengejarmu dan melaju kencang meninggalkanmu”. Pernyataan
tersebut memang tidak diragukan lagi eksistensinya, ketika pendidikan sudak
terkotak-kotakkan sedemikian rupa maka terjadilah sebuah kompetisi sesuai
kompetensinya masing-masing, dan akhirnya yang berhanti berlari itulah yang kalah.
Terlepas dari
perbedaan pendapat dalam memahami janji-janji di atas, agar perbedaan tersebut
kita sikapi dengan bijak dan saling menghormatinya karena dia adalah rahmat
seperti “Air dan minyak”, walaupun sulit bersatu tapi saling melengkapi
satu sama lainya. Tidak ada yang dibenarkan ataupun disalahkan pada berbagai
pendapat di atas karena belum tentu pendapat A benar dan B salah, bisa jadi
pendapat B meyakinkan dan A tidak meyakinkan, itulah dinamika hidup dalam suatu
perbedaan, kadang perbedaan itu menimbulkan ketegangan tetapi juga kadang
terlihat indah dan membuat kita kaya akan bermacam-macam warna hidup.
Komentar
Posting Komentar