Langsung ke konten utama

Konsep dan Aplikasi al-Qawa’id al-Khamsah

Konsep dan Aplikasi al-Qawa’id al-Khamsah:

al-Umuru bi maqashidiha; al-Yaqinu la yazalu bi al-syakk



                Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Kaidah Ushul dan Fiqh
Dosen pengampu: H. Andi Mardian, Lc, M.A
Disusun oleh:
1.      Ahmad Jalal                12.21.2.1.002
2.      Ahmad Lutfi               12.21.2.1.003
3.      Nurul Hidayah            12.21.2.1.030
4.      Cholil                          12.21.2.1.00

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2014/2015




BAB I
Pendahuluan

            Qawaidul fiqhiyah[1] (kaidah-kaidah fiqih) adalah sesuatu yang sangat penting dan menjadi kebutuhan bagi kita semua dalam beribadah dan bermu’amalah. Untuk itu perlu kiranya kita untuk mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqih, karena kaidah fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih. Selain itu kita juga akan menjadi lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Dengan mempelajari kaidah fiqih, diharapkan pada akhirnya kita juga bisa menjadi lebih moderat dalam menyikapi masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, budaya sehingga kita bisa mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat dengan lebih baik.
            Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang kaidah fiqih yang pertama dan ke dua, yaitu الامور بمقاصدها  (al-Umuru bi Maqasidiha) dan اليقين لا يزول بالشك (al-Yakinu la Yazalu bi Syakk). Kaidah pertama membahas tentang kedudukan niat yang sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, sedangkan kaidah yang ke dua membahas tentang kedudukan keyakinan yang mantap sehingga akan menghilangkan keraguan. Ke dua kaidah fiqih tersebut diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap individu dengan Allah dan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri



BAB II
Pembahasan

1.      Kaidah fikih الامور بمقاصدها  (Setiap perkara berdasarkan atas niatnya)
Kaidah ini termasuk salah satu dari panca yang merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini menjelaskan tentang niat. Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan, bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan[2] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika hal itu dilakukan hanya semata-mata untuk menyiksa dan menyakiti istrinya, maka hal itu haram untuk dilakukan.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bahwa tempat niat itu di hati, bukan di lisan, hal itu berdasarkan kesepakatan para ulama’. Ini berlaku untuk semua ibadah, baik itu thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, jihad maupun lainnya. Oleh karena itu kalau ada seseorang yang melafadzkan niatnya dengan lisan, namun apa yang dia lafadzkan itu berbeda dengan yang terdapat dalam hatinya, maka yang dianggap sebagai niatnya adalah apa yang terdapat dalam hatinya bukan lisannya, demikian juga kalau seseorang melafadzkan niat dengan lisannya, namun dalam hatinya tidak ada niat sama sekali, maka niatnya tidak sah. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama’, karena niat itu adalah kehendak dan tekad yang terdapat dalam hati.[3]
Kaidah ini berasal dari hadits:
 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ» (رواه البخارى و مسلم و غيرهما)
Artinya: "Sesungguhnya amal itu hanyalah beserta niat, dan setiap manusia mendapatkan apa-apa sesuai yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia inginkan itu." (HR. Bukhari No. 45, 163, 2392, 3685, 4783, 6311, 6553, Muslim No. 1907, At Tirmidzi No. 1698, Abu Daud No. 2201, Ibnu Majah No. 4227, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, No.181, 2087, 12686, 14773, Ibnu Hibban No. 388, 4868)
Adapun fungsi niat, ada tiga yaitu sebagai berikut:[4]
1.      Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
2.      Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3.      Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.
Kaidah asasiyyah di atas memiliki sub-sub kaidah yang berjumlah 8 (delapan) kaidah. Sub-sub kaidah tersebut adalah :
1.      ﻨِﻴﱠﺔ ُ ﺍﻟﻣُﺆْﻣِﻦِ ﺧَﻴْﺮ ٌﻣِﻦْ ﻋَﻣَﻟِﻪِ (Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya)
Sehubungan dengan kaidah tentang niat ini ada dhabith yang ruang lingkupnya lebih kecil dari kaidah tersebut di atas dan biasanya disebut dhabith, antara lain:[5]
ﺍﻟﻌِﺒْﺮَﺓُ  ﻔِﻲ ﺍﻟﻌُﻗُﻮْﺩِ ﻟِﻟْﻣَﻗَﺎﺻِﺩِ ﻮَﺍﻟَﻣَﻌَﺎﻨِﻲ ﻻَﻟِﻸ َﻟﻔَﺎﻅِ ﻮَﺍلﻣَﺒَﺎﻨِﻲ
“Pengertian yang diambil dari suatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan ungkapannya”.
Contoh: apabila ada seseorang yang mengalami musibah kecelakaan dan kita pada saat berkata pada semua orang akan membantu orang tersebut untuk dibawa ke RS dan menanggung semua biaya RS tersebut. Namun kenyataannya setelah keluarga orang itu datang, kita langsung memberikan kuitansi pembayaran kepada keluarga orang itu, agar mengganti biaya tersebut. Oleh karena itu apa yang diucapkan kita itu tidak sama dengan yang kita lakukan. Maka dalam hal ini kita membantu dan menolong orang tersebut bukanlah benar-benar ingin membantu, tetapi hanya ingin membangun citra “baik” di mata orang, agar mendapat sanjungan dari orang lain.
2.      ﻻَ ﺜَﻮَﺍﺐَ ﺇِﻻﱠ ﺒِﺎﻟﻨﱢﻴَﺔِ (Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat)
Kaidah ini, memberikan kepada kita pedoman untuk membedakan perbuatan yang bernilai ibadah dengan yang bukan bernilai ibadah, baik itu ibadah yang mahdah maupun ibadah yang ‘ammah. Bahkan An-Nawawi mengatakan bahwa untuk membedakan antara ibadah dengan adat, hanya dengan niat. Sesuatu perbuatan adat, tetapi kemudian diniatkan mengikuti tuntutan Allah dan Rasulullah SAW. Maka ia berubah menjadi ibadah yang berpahala.[6]
Contoh: seseorang yang mengajar tentang komputer. Pertama, ia mengajari orang lain yang tidak mengerti tentang bagaimana mengoperasikan komputer, dalam hal ini ia mengajari orang tersebut dengan niat karena Allah dan berniat untuk membagi ilmunya kepada orang lain. Maka dengan niatnya tersebut ia mendapatkan pahala. Sedangkan yang kedua, ia mengajari orang tersebut, hanya karena ingin mendapat imbalan saja dan ia sama sekali tidak memikirkan apakah orang yang diajarinya itu sudah mengerti atau tidak, sebab ia hanya memikirkan imbalan yang akan ia peroleh dari hasil mengajari orang tersebut saja. Maka dalam hal ini ia tidak berniat karena Allah dan karena itulah ia tidak mendapatkan pahala.
3.      ﻟَﻮﺍﺨْﺗَﻟَﻑَ ﺍﻟﻟِﺳَﺎﻦُ ﻮَﺍﻟﻗَﻟْﺏُ ﻔَﺎﻟﻣُﻌْﺗَﺒَﺮُ  ﻣَﺎ ﻔِﻲ ﺍﻟﻗَﻟْﺏِ   (Apabila berbeda antara yang diucapkan dengan yang di hati, yang dijadikan pegangan adalah yang didalam hati)[7]
Contoh: apabila di dalam hati kita bermaksud memberi hadiah kepada Ibu berupa tas kerja, tetapi pada saat diucapkan kepada Ibu ketika mengajak ibu ke pasar bahwa kita hanya ingin jalan-jalan saja. Maka yang dijadikan pegangan itu adalah yang ada di dalam hati.
4.      ﻻَ ﻴَﻟْﺯَﻡُ ﻨِﻴَﺔُﺍﻟﻌِﺎﺪَﺓِ ﻔِﻲ ﻜُﻞﱠ ﺠُﺯْﺀٍ ﺇِﻨﱠﻣَﺎ ﺗَﻟْﺯَﻡُ ﻔِﻲ ﺠُﻣْﻟَﺔٍ ﻣَﺎ ﻴَﻔْﻌَﻟُﻪُ   (Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam keseluruhan yang dikerjakan)[8]
Contoh: ketika kita berniat untuk melakukan shalat, maka niat cukup satu kali, dan tidak perlu mengucapkan niat pada tiap kali gerakan shalat.
5.      ﻜُﻞﱡ ﻣُﻔَﺮﱢ ﻀَﻴْﻦ ﻔَﻼَ ﺗَﺠْﺯِﻴْﻬِﻣَﺎ ﻨِﻴﱠﺔ ٌﻮَﺍﺤِﺪ ٌﺇِﻻﱡ ﺍﻟﺤَﺞّ ﻮَﺍﻟﻌُﻣْﺮَﺓ  (Setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan umrah)
Contoh: seseorang berniat melakukan mandi wajib kemudian orang tersebut ingin berwudhu dengan menggunakan niat yang pertama yaitu niat mandi wajib, maka hal itu tidak diperbolehkan sebab dalam dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat saja.
6.      ﻜُﻞﱡ ﻣَﺎ ﻜَﺎﻦَ ﻠﻪُ ﺃﺻْﻞٌ ﻔَﻼَ ﻴَﻨْﺗَﻘِﻞُ ﻋَﻦْ ﺃَﺻْﻟِﻪِ ﺒِﻣُﺠَﺮﱠﺪِ ﺍﻠﻨﱢﻴَﺔِ    (Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena semata-mata niat)[9]
Contoh: kita berniat membayar hutang puasa ramadhan, tetapi belum selesai kita melakukan puasa tersebut, misalnya pada siang hari, tiba-tiba kemudian kita berubah niat untuk tidak jadi membayar hutang puasa dan ingin hanya melaksanakan puasa sunnah senin kamis, maka hal itu tidak diperbolehkan dan puasa tersebut batal untuk dilaksanakan.
7.      ﻣَﻘَﺎﺻِﺪُ اللفظِ ﻋَﻟَﻰ ﻨِﻴَﺔِ ﺍﻠﻼَﻔِﻇ (Maksud lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya). Dari redaksi kaidah ini, memberikan pengertian bahwa ucapan seseorang itu dianggap sah atau tidak, tergantung dari maksud orang itu sendiri, yaitu apa maksud dari perkataannya tersebut.[10]
Contoh: kita memanggil seseorang dan kita memanggil orang tersebut dengan sebutan yang bukan nama orang itu sendiri, dan kita memanggilnya dengan sebutan yang tidak baik, seperti memperolok orang tersebut dengan kata-kata yang tidak baik, maka dari ucapan tersebut, apakah dianggap baik atau tidak tergantung maksud orang yang mengucapkannya. Apakah hal itu dilakukan dengan sengaja ataukah hanya sekedar bercanda.
8.      ﺍﻷَﻴْﻣَﺎﻦُ ﻣَﺒْﻨِﻴﱠﺔ ٌﻋَﻠَﻰ ﺍﻷَﻠﻔَﺎﻇِ ﻭَﺍﻟﻣَﻘَﺎﺻِﺪِ   (Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud). Khusus untuk sumpah ada kata-kata yang khusus yang digunakan, yaitu “wallahi” atau “demi Allah saya bersumpah” bahwa saya... dan seterusnya. Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan sumpahnya itu.
Contoh: apabila seseorang itu berkata bahwa, demi Allah saya akan memberikan sedikit rezeki kepada orang yang tidak mampu, apabila nanti saya mendapat rezeki lebih. Dan hal itu disaksikan oleh keluarganya, maka yang dimaksud orang tersebut ialah dia bersumpah untuk dirinya sendiri agar berbagi kepada orang yang tidak mampu, apabila ia mendapatkan rezeki lebih dari biasanya.


2.      Kaidah Fikih الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ (Keyakinan tidak bisa hilang dengan adanya keraguan)
 اليَقِيْنُ secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu.  Al-Yaqin juga bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya. Sedangkan menurut istilah:
Ø  Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu bahwasanya ”begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan ”begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk menghilangkannya”.
Ø  Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.
Ø  As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.
Adapun الشَكُّ secara bahasa artinya adalah keraguan. juga bisa diartikan dengan sesuatu yang membingungkan. Sedangkan menurut istilah:
1.      Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.
2.      Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana tidak bisa memilih dan menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan salah satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan الشَكُّ.
Kaidah ini sama dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dalam hukum Barat. Selain  itu, secara moral, seorang muslim harus memiliki husnu zhan (berprasangka baik) sebelum ada bukti yang meyakinkan bahwa dia tidak baik.
Jadi maksud kaidah ini ialah: apabila seseorang telah meyakini terhadap suatu perkara, maka yang telah diyakini ini tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan (hal-hal yang masih ragu-ragu).[11]
  
b)     Dasar pengambilan kaidah
Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang kedua ini mengenai keyakinan dan keraguan, antara lain sebagai berikut: Sebagaimana yang dikutip oleh Muchlis Usman, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:[12]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِأَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Artinya: “ Dari Abu Hurairah berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْصَلَّى  ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّىخَمْسًا شَفَعْنَ  لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
Artinya: “ Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia yakni kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan shalatnya, dan jikalau ternyata shalatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.” (HR. Muslim)

c)      Sub-sub kaidah
Kaidah asasiyyah tentang keyakinan dan keraguan ada 11 (sebelas) yang merupakan sub-sub dari kaidah tersebut, yaitu:
1.     اَلْيَقِيْنُ يُزَالُ بِالْيَقِيْنُ مِثْلِهِ (Keyakinan bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula)
Maksudnya apabila telah meyakini sesuatu kemudian ada bukti yang lebih meyakinkan tentang hal tersebut, maka keyakinan kedua lah yang dianggap benar.
Contoh: Seseorang yang berkendaraan pada waktu hujan, kemudian dia terkena percikan air hujan yang sudah tercampur dengan air di jalan yang kemungkinan bahwa air itu najis, maka dia tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
2.      أَنَّ مَا ثَبَتَ بِيَقِينٍ لَا يَرْتَفِعُ إلَّا بِيَقِينٍ  (Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi). Dalam kaidah ini berhubungan dengan jumlah bilangan, apabila seseorang ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.[13]
Contoh: Seseorang makan gorengan sambil berkumpul dengan teman-temannya, kemudian dia ragu sudah memakan 3 atau 4 gorengan, maka bilangan yang 4 lah yang meyakinkan, karena ini berhubungan dengan mualamalah atau hubungan sesama manusia, sebab jika kita memilih bilangan sedikit, dikhawatirkan akan termakan hak orang lain, tetapi jika keraguan dalam masalah ibadah kepada Allah SWT seperti bilangan shalat, apakah sudah 3 rakaat atau 4 rakaat, maka bilangan terkecillah yang kita ambil sebab ini adalah masalah pelaksanaan kewajiban kita sebagai hamba-Nya dan untuk kehati-hatian kita.
3.      الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّة (Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Jadi sesuatu bebas dari tanggungan sampai ada yang mengubahnya.[14]
Contoh: Seseorang bebas dari tanggung jawabnya sebagai mahasiswa, sampai dia benar-benar masuk sebuah universitas dan terdaftar sebagai mahasiswa.
4.      الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَان (Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya).[15] Mislanya, mahasiswa bebas lagi dari tugas dan kewajibannya sebagai mahasiswa ketika dia telah lulus atau menyelesaikan sekolahnya. Contoh lainnya, seseorang yang telah berwudhu, akan tetap dalam keadaan berwudhu, sampai adanya bukti bahwa ia telah batal. Dengan adanya bukti batal tersebut, maka berubahlah hukum masihnya ia dalam keadaan berwudhu.
5.      الْأَصْلُ الْعَدم  (Hukum asal adalah ketiadaan). Misalnya, Aji membeli play station, kemudian dia berselisih dengan penjual bahwa play station yang dibelinya ternyata rusak, maka dalam masalah ini yang menang adalah penjual, karena waktu pembeliaan play station ini sudah dicoba terlebih dahulu dan dalam keadaan baik.
6.      لْأَصْلُ إِضَفَةُ الْحأدِثِ إِلَى أقْرَبَ أَوْقَاتِهِ (Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadiannya). Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi.
Contoh: Seseorang menjalani operasi ginjal, setelah itu dia sehat dan dapat menjalani aktifitas sehari-harinya seperti biasa, kemudian selang beberapa bulan dia meninggal dunia, maka meninggalnya orang tersebut bukan karena terjadi operasi, tetapi dikarenakan suatu hal dan sebagainya.
7.      الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيم (Hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya). Misalnya, seseorang memakan atau memperjualbelikan cacing. Karena pada dasarnya semua hukum itu adalah mubah, maka dalam hal ini pun diperbolehkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut sampai adanya dalil yang menyatakan keharamannya. Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqih muamalah, sedangkan untuk fikih ibadah digunakan kaidah:
الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْمبُطْلَانُ حَتَّى يَقُومَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ
“Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya Misalnya, Kita telah mengetahui bahwa tiap-tiap shalat memiliki jumlah rakaat masing-masing. Maka tidak boleh kita merubahnya, misalkan shalat isya yang 4 rakaat menjadi 3 rakaat saja, karena masalah ibadah itu sudah ada ketetapannya dari Allah SWT.
8.     اَلْأَصْلُ فِى الْكَلَامِ الْحَقِيْقَةِ (Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)
            Kaidah ini member maksud bahwa dalam suatu kalimat, harus diartikan kepada arti yang hakikat atau arti yang sebenarnya. Yakni sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengertian yang hakiki. Jadi, makna dari sebuah kata yang diungkapkan haruslah arti yang sebenarnya.
            Contoh: Seorang pengusaha kaya akan menghibahkan sebuah rumah dan kendaraan kepada bapak si Jodi yang telah berjasa dalam mengelola usahannya. Jadi bapak dalam kalimat itu adalah ayah kandung dari Jodi, bukan ayah angkat ataupun ayah tirinya Jodi.
9.     لَا عِبْرَةَ بِالظَّنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَاءُهُ (Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya). Contoh: Apabila seorang anak yang berhutang sudah melunasi semua hutangnya, lalu si ayah dari penghutang juga membayarkan hutang anaknya tadi, karena si ayah menyangka belum dibayar. Maka si ayah boleh meminta uangnya kembali, karena ada persangkaan yang salah.
10.  لَا عِبْرَةُ لِلتَّوَهُّمِ (Tidak diakui adanya kira-kira). Maksudnya adalah dalam suatu hal, kita tidak menggunakan perkiraan. Contoh: Seseorang yang meninggal dunia dan memiliki harta warisan yang banyak, kemudian harta tersebut dibagi kepada ahli warisnya. Tentang harta lain yang dikira-kira ada barangnya, tidak diakui karena hanya berupa perkiraan saja.
11.  مَا ثَبَتَ بِزَمَنٍ يُحْكَمُ بِبَقَاءِهِ مَا لَمْ يَقَمِالدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ (Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya). Contoh: Seseorang yang pergi ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), kemudian lama tidak terdengar kabar beritanya, maka dia tetap dinyatakan masih hidup. Karena berdasarkan pada keadaan saat dia berangkat, yakni dalam keadaan masih hidup.




BAB III
Penutup

Kesimpulan
            Dari pembahasan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa dua kaidah tersebut termasuk dari panca kaidah yang merupakan kaidah asasi. Dalam kaidah pertama menjelaskan tentang niat. Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan. Adapun fungsi niat, ada tiga yaitu sebagai berikut: Pertama, Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan. Kedua, Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan. Dan yang ketiga, Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah. Kaidah asasi yang pertama tentang niat ini, terdapat 8 (delapan) sub-sub kaidah.
           Kaidah ke dua membahasan tentang kaidah keyakinan tidak bisa hilang dengan adanya keraguan ini, bahwa apabila kita telah yakin terhadap sesuatu dalam hati, maka hal itu lah yang berlaku, kecuali memang ada dalil atau bukti lain yang lebih kuat atau meyakinkan sehingga dapat membatalkan keyakinan kita itu. Karena sesuai dengan maknanya yakin itu adalah kemantapan hati atas sesuatu. Intinya rasa ragu itu tidak bisa menghapuskan keyakinan kita.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifaat,Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1983.
Djazuli, A., Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007.
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Musbikin, Imam, Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.










[1] Kaidah Fikih diartikan sebagai ketetapan yang menyeluruh yang mencakup bagian-bagiannya. (lihat al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifaat, (tt.,: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1983), h. 171.
قضية كلية منطبقة على جميع جزئياتها
Sedangkan  Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas satu yang mengumpulkannya. (Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (tt.,: Dar al-Fikr al-Arabi), h.10.
مجموعة الاحكام المتشبهات التى ترجع الى قياس واحد يجمعها
[2] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007, h. 34.
[4] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, h. 35-36.
[5] Ibid., h. 39.
[6] Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001, h. 44.
[7] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, h. 124.
[8] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, h. 40.
[9] Ibid., h. 41.
[10] Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, h. 47.
[11] Imam Musbikin, Qawa’id al-fiqhiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001, h. 52.
[12] Muchlis Usman, Kaidah-kaidah, h. 115.
[13] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang praktis, h. 48.
[14] Ibid.
[15] Ibid., h. 49.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Ayat Qishash

Tafsir Ayat Qishash                 Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ahkam II Dosen pengampu: H. Sholakhuddin Sirizar, M.A Disusun oleh: 1.       Ahmad Lutfi               12.21.2.1.003 2.       Muhammad Ansori     12.21.2.1.024 3.       Nur Khamid                12.21.2.1.029 4.       Riyan Hidayat             12.21.2.1.032 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA 2014/2015 BAB I Pendahuluan Al-Qishash dalam al-Q...

Haid, Nifas dan Istikhadhah

Haid, Nifas dan Istikhadhah     Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Ibadah Dosen pengampu: H. Andi Mardian, Lc, M.A Disusun oleh: 1.       Ahmad Lutfi               12.21.2.1.003 2.       Irfaiyah                       12.21.2.1.000 3.       Wakhid Hasyim          12.21.2.1.043 4.       Ismail Lape                 12.21.2.1.044 5.       Vivi Kus Aisyah         12.21.2.1.000 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA 201...